20 Agustus
2015
Aku tak tahu
harus memulainya dari mana…
Teringat
pepatah “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian.”
Aku akan
mengawali tulisan ini dari semua kesakitan yang pernah aku alami J
Saat ini, saat
aku menulis cerita ini, sebenarnya aku sedang dihadapkan pada 2 pilihan yang
mungkin teramat sulit untuk diputuskan oleh semua wanita. Seminggu lalu aku
baru saja didiagnosa menderita tumor ganas, yang bisa dikatakan ini adalah
kanker. Tumor yang tumbuh di tempat yang sama seperti 5 tahun lalu, hanya…kali
ini dokter bilang yang aku derita tak sama resikonya seperti 5 tahun lalu saat aku di operasi.
Kisat Ovarium
Ganas. Begitu kata dokter saat berbicara setelah menscan isi perutku dengan mesin
USG. 2 pilihan yang diberikan jika aku masin ingin hidup adalah…
Pertama, tumor
ganas ini bisa saja diambil, ovariumku masih bisa di sisakan agar kelak aku
masih bisa melahirkan anak (itupun jika ovariumku masih dalam kondisi baik).
Tapi setelah operasi selesai aku harus menjalankan kemoterapi, hal ini untuk
membunuh sel-sel kanker yang ada di ovariumku, dan terutama untuk mencegah
tumor ini datang kembali. Saat dokter menawarkanku Kemoterapi kata yang pertama
aku ucapkan “itu tandanya aku harus kehilangan semua rambutku ?”, meskipun dia
bilang rambutku bisa tumbuh lagi tapi aku yakin pasti keadaanku tak akan sama
seperti sebelumnya.
Kedua, jika
diindikasikan ovariumku sudah tidak mungkin bisa dipertahankan maka resikonya
harus dibuang. Karena aku sudah kehilangan ovarium sebelah kiriku maka jika
yang kanan juga harus dibuang kemungkinan aku akan mengalami menopause,
selamanya. Rahimku harus dibuang, semua.
Pilihan yang
sangat sulit, bagiku.
Semakin hari
diameter perutku semakin membesar, lingkar pinggangku lebih lebar dibanding
lingkar dadaku, yang artinya siapapun yang melihatku pasti akan menyangka aku sedang
hamil atau mengandung seorang bayi.
Aku berada
dalam kesakitan, mungkin juga bisa dibilang dalam kategori SEKARAT.
Setiap hari
aku harus menempuh jarak ke kantor dengan menggunakan motor dan melewati jalan
yang berbatu, saat melewati jalanan seperti ini aku merasa seperti seseorang
sedang meninju perut bagian bawahku…sakit sekali. Tapi bagiku rasa sakit ini
masih dalam batas yang bisa aku tahan. Bagiku melihat air mata ibuku jatuh dari
pelupuk matanya jauh lebih sakit dibanding rasa sakit karena penyakit ini.
Setiap aku
minum air, tak selang berapa lama pasti aku membuangnya dalam bentuk urin.
Dokter bilang karena kandung kemihku tertekan tumor sebesar 12x10 cm ini
makanya kandung kemihku tak bisa menampung banyak air. Bahkan mungkin jika aku
terus bersikeras menunda pengobatanku mungkin selanjutnya ada bagian organ lain
juga yang akan rusak karena tak menjalankan fungsinya dengan baik, seperti
kandung kemih ini.
Bahkan saat
aku duduk terlalu lamapun punggungku akan terasa sakit, nyeri, seperti digigit
serangga. Mungkin karena perutku menopang beban yang berat makan punggungku membengkok
tak sewajarnya.
Bisa dikatakan
apa yang aku alami saat ini sama seperti gejala orang yang sedang hamil 6 atau
7 bulan. Hanya bedanya isi perutku dan ibu hamil berbeda.
Sebenarnya
akupun tak ingin menunda pengobatan, namun saat aku konsultasi dengan dr Imam
Rasjidi, SpOG,. Onk, beliau tak mau mengoperasi dengan fasilitas BPJS, kalaupun
harus dengan BPJS maka harus menggunakan yang Top Up atau Kelas VIP, yang saat
aku tanya ke bagian BPJS di RS Usada Insani Tangerang keseluruhan biayanya Rp
40.000.000,- dan yang akan ditanggung BPJS hanya Rp 9.000.000,-. Buat orang
yang berasal dari keluarga serba kurang sepertiku ini mendapatkan tambahan uang
Rp 31.000.000,- bukanlah perkara yang mudah. Apalagi dengan kondisi ekonomi
keluargaku yang saat ini sedang terlilit hutang.
dr Imam
Rasjidi menyarankan jika memang ingin menggunakan kelas 3 (kelas terendah di
RS) harus menggunakan pelayanan umum dimana biaya tindakannya saja Rp
23.000.000,- dan biaya inap kamar Rp 130.000,-/malam, itupun belum termasuk
biaya obat dan kunjungan dokter. Sehingga jika ditotal maka aku setidaknya
membutuhkan Rp 30.000.000,- untuk bisa operasi dengan fasilitas kelas 3.
Huft…bagiku
tak ada bedanya apakah menggunakan layanan BPJS ataupun Uang Pribadi. Sebuah
angka Rupiah yang tak mungkin terjangkau dalam waktu singkat.
Entahlah
seperti apa pola pikir dokter di Indonesia ini, apakah sebuah nyawa tak
berharga, apakah uang lebih utama, apakah ini salah satu cara untuk mengurangi
jumlah populasi penduduk Indonesia yang
sedang meledak.
Benar-benar
sepotong kehidupan yang sulit bagiku yang baru berumur 22 tahun saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar